Bahagia Ibu Meninggal
BAHAGIA IBU MENINGGAL
"Tih, sabar yah, ibumu suda tidak ada" Ucap paman sambil memelukku.
"Alhamdulilah" Ucapku stelahnya aku barucap "Innalilahi wa innailaihi rozjiun" Aku membawa jenazah ibu kembali ke rumah. Kabar meninggalnya ibuku diketahui oleh kakak-kakakku melalui tetanggaku. Karena aku memang tak ingin mengabari mereka. Aku mengurus semua setiap prosesnya.
Entah kenapa air mataku tak ada yang mengalir. "Ibuบบบบบ!" Teriak kak Abdi lalu berlari ke samping jenaza ibu.
Kakakku yang lain pun terdengar histeris.
"Ibu maafkan aku Bu"
"Ibu ampuni aku buuuu"
"Ibuuuuuuu" Teriak mereka bersahutan.
mereka terus memeluk jenazah ibu.
Aku hanya terdiam melihat mereka sampai jenazah ibu dikuburkan. Saat pulang terlihat kakak-kakakku masih menampakkan penyesalan "Tih" Ucap kak Abdi ingin memelukku. "Jangan menyentuhku!" Bentakku. "Apa maksudmu?" Ucap kakak iparku. "Aku tak ingin tangan durhaka menyentuhku!" Ucapku sinis.
"Apa maksudmu Ti? Aku tak melihatmu bersedih, aku tak melihatmu sakit, aku tak melihatmu kehilangan" Ucap kak Sinta. Aku mencoba tak memperdulikan mereka namun mas Abdi masih terus mencoba membujukku.
"Kalian tahu apa tentang sedih hah?" Teriaku histeris
"Kalian tahu apa tentang sakit?"
"Kalian tahu apa soal kehilangan?" Kali ini air mataku seakan memaksa untuk keluar.
"Kalian mau tau apa itu sedih? Sedih itu ketika melihat ibu yang terus duduk di kursi itu menunggu kedatangan kalian dari siang sampai larut"
"Kalian tau apa itu sakit? Sakit itu ketika melihat ibu yang bertaruh nyawa namun tak melupakan nama kalian"
"Kalian tau apa itu kehilangan? Kehilangan itu ketika melihat tatapan sendu itu terus memandangi jalan berharap kalian muncul dan memeluknya" Teriakku yang terus meraung.
"Kalian tau? Ibu bahkan memintaku untuk memakaikannya baju baru agar kalian tak malu memiliki ibu sepertinya. Ibu bahkan rela hidup susah asal kalian bahagia" Ucapku kali ini dengan suara yang suda parau.
Kalian durhaka, kalian durhaka membiarkan ibu menanggung rindu"
"Aku bahkan tak ingin mengakui kalian sebagai kakak"
"Kalian tau kenapa aku tak menangis? Karena aku bahagia, Ibu tak lagi menahan sakit ketika tubuhnya harus ditusuk dengan jarum suntik, aku bahagia karena ibu tak lagi sakit, dan yang paling buatku bahagia karena ibu tak lagi menderita menanggung rindu" Ucapku yang sudah terduduk karena badanku terasa sangat lemas. Kakak-kakakku hanya mampu menangis mendengarkan ku.
"Satu lagi. Mulai sekarang aku akan mengambil mobilmu kak Abdi yang dibeli memakai uang ibu. Segera kembalikan uang yang ibu modali untuk usahamu kak Rifan. Dan segera tinggalkan rumah yang ibu belikan untukmu ka Sinta. Kalian sungguh tak pantas menerima kemurahan ibu. Aku ingin membangun sebuah panti asuhan untuk ibu agar banyak anak yang mengelilinginya" Ucapku datar tanpa menoleh ke arah mereka. Mereka tak ada yang mampu menjawabku karena terus meraung karena penyesalan.
"Kalian tau? Ada satu tempat yang bahkan
kalian berkeliling dunia pun tak akan kalian temukan. Yaitu Rahim ibu. Rahim yang telah kalian tempati saat Allah memberimu kehidupan. Dan kalian justru memilih pergi ke tempat lain saat orang yang meminjamkan rahimnya sedang bertaruh nyawa."
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
- Khadijah Wanita Istimewa
- Tetap Berprestasi di Masa Pandemi
- Pembelajar di Ujung Negeri di Masa Pandemi
- Hikmah Bapak Tua
- Hikmah Boikot
Kembali ke Atas